Kondisi Obyektif Dinasti Bani Umayyah – Permasalahan krusial yang dihadapi umat Islam setelah wafatnya Rasulullah Muhammad saw yaitu tentang siapa yang akan menggantikan kedudukan beliau sebagai pemimpin umat pasca nabi wafat. Ini terjadi karena baik Al-Qur’an maupun sunnah Nabi sendiri tidak ada yang secara tegas menjelaskan bagaimana sistem oleh umat Islam setelah beliau wafat. Ini menimbulkan berbagai macam penafsiran dan perbedaan pendapat yang melahirkan berbagai aliran sejarah dan politik dalam Islam seperti Sunni, Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah.
Inilah awal dari perselisihan umat Islam, mereka memandang bahwa kedudukan Khalifah adalah kedudukan yang mempunyai tanggung jawab intelektual, moral dan sosial yang semua itu bertujuan untuk mempertahankan keutuhan umat Islam.
Dinasti Umayyah mulai menanamkan benih kekuasaan pada masa Khalifah Umar bin Khattab oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan, ketika itu Mu’awiyah dipercayakan oleh Umar sebagai gubernur Syam dan memberikan kekuasaan kepada Mu’awiyah untuk mengelola dan memberdayakan daerah tersebut. Pada fase itulah Mu’awiyah memulai karir politiknya. Oleh karena Khalifah Umar memberikan kepada Mu’awiyah untuk mengurus daerah kekuasaan seperti struktur masyarakat, tatanan kehidupan sosial. Dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai gubernur Syam tentu tidak semua masyarakat menyukai bentuk perilaku-perilaku dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh Mu’awiyah, khalifah Umar pada saat itu pun mengetahui akan adanya hal tersebut.
Pada masa khalifah Usman, Mu’awiyah kembali mendapatkan kepercayaan dari khalifah Usman sebagai gubernur Damaskus. Di Damaskus Mu’awiyah mendapatkan dukungan dan simpatisan dari masyarakat setempat sehingga itulah sebabnya mengapa Usman mempercayakan Damaskus kepada Mu’awiyah, dan mempertahankan Mu’awiyah sebagai penguasa Damaskus selama bertahun-tahun. Inilah salah satu langkah keliru yang ditempuh Usman.
Pada masa khalifah Usman bukan saja Mu’awiyah yang menjadi awal tumbuhnya kekuasaan Umayah akan tetapi disana pada Marwan bin Hakam sebagai sekretaris Usman ketika itu, dalam sempalan-sempalan literatur sejarha berbeda bahwa Marwan bin Hakam yang mengatur bentuk struktur pemerintah Umar ketika itu dan dia pula yang mendalangi terbunuhnya Khalifah Usman oleh kaum pemberontak pada saat itu, ada pula Said bin Ash yang juga keturunan Umayah, menjabat sebagai penguasa Kufah. Pada saat Khalifah Usman bin Affan menyusun kabinet pemerintah maka pada saat itu ada beberapa orang dari bani Umayah yang terlibat dalam struktur pemerintahan, inilah awal tumbuhnya Dinasti bani Umayah.
Ketika Usman terbunuh oleh golongan pemberontakan yang tidak jelas dan masih kontroversi dalam sejarah tentang siapakah pelaku pembunuhan itu, maka ketika itu Khalifah Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti dari Khalifah Usman yang terbunuh, langsung mengadakan pergantian dari beberapa gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman ketika itu yang tidak mempunyai keahlian di bidangnya dan cenderung bahwa ketika Khalifah Usman berkuasa banyak memakai anggota keluarganya dalam komposisi pemerintahannya inilah yang menimbulkan awal munculnya Nepotisme. Termasuk Mu’wiyah adalah salah seorang gubernur yang diminta oleh Khalifah Ali untuk meletakkan jabatannya, serta mengganti posisinya sebagai penguasa Damaskus saat itu oleh Abdullah bin Abbas. Akan tetapi Mu’awiyah mendeklarasikan dirinya sebagai Khalifah dan melakukan konfrontasi terhadap kepemimpinan yang sah.
Terjadinya peran Shiffin antara pasukan Damaskus yang dipimpin oleh Mu’awiyah dan pasukan Irak yang dipimpin oleh Ali. Ketika itu pasukan Irak hampir memenangkan peperangan atas pasukan Damaskus akan tetapi ditengah peperangan yang sengit itu salah seorang dari pasukan Damaskus mengangkut Al-Qur’an diujung tombak sebagai bentuk perdamaian untuk menghentikan peperangan. Kemudian kedua pasukan tersebut masing-masing berunding untuk mencari wakil juru bicaranya, maka ditunjuklah Amru bin Ash sebagai wakli juru bicara dari pihak pasukan Damaskus dan Abu Musa Al-Asary sebagai wakil juru bicara dari pihak pasukan Irak dalam pembicaraan itu pihak Irak merasa dirugikan oleh pasukan Damaskus karena perjanjian itu pasukan Irak melihat bahwa pembicaraan tersebut tidak lepas dari strategi yang dimainkan oleh pihak Damaskus atau Mu’awiyah.
Setelah Ali terbunuh maka masyarakat Kufah mengangkat anak dari Ali sebagai penggantinya yaitu Hasan Bin Ali akan tetapi kubu Mu’awiyah tidak setuju dengan hal itu kemudian Hasan mengadakan pertemuan dengan Mu’awiyah dan membuat kesepakatan perjanjian perdamaian, kesepakatan perjanjian perdamaian itu dilanggar oleh Mu’awiyah karena Mu’awiyah ingin menggantikan posisi Ali sebagai khalifah. Setelah Mu’awiyah berkuasa selama 20 tahun kini tiba saatnya dia meletakkan kekuasaan sistem yang ditempuh oleh Mu’awiyah dalam pemilihan pergantiannya kini bukan lagi memakai sistem Syura atau musyawarah akan tetapi sistem yang dipakai dalam pergantian kekuasaan adalah sistem penunjukan langsung oleh putranya sendiri yaitu Yazid bin Mu’awiyah.
0 komentar:
Posting Komentar